“Kalau ada orang yang sayang sama saya dan perhatian ke saya, saya tuh rela melakukan apa aja untuk menyenangkan dia balik, agar kasih sayang itu tetap buat saya,” ujar Indira. Maka, hubungan intim sebelum pernikahan pun dilakukan wanita yang akrab disapa Indi ini asal bisa menyenangkan laki-laki.
Di dalam hidup Indi, dia tak merasakan kedamaian. Kedua orangtuanya seringkali bertengkar. “Nggak ada keharmonisan di rumah. Mereka tuh ga mentingin perasaan sayalah. Yang penting ingin egonya masing-masing.”
Ketika mengetahui dirinya hamil, Indi pernah mencoba menghubungi cowok yang membuatnya hamil. “Saya berpikir pada saat itu, memang sih saya hamil oleh dia, tapi melihat segala keburukan dan tingkah lakunya, saya nggak mau ambil resiko lebih parah lagi.”
Indira pun berniat berhenti sekolah dan mau membesarkan anaknya. “Karena saya berpikir, karena saya yang berdosa, masa saya (masih) mau mengorbankan anak saya yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Aku tuh nakal karena pengen cari perhatian. Aku tuh nakal karena pengen nutupin semua lukanya aku. Kayaknya nggak ada orang yang benar-benar tulus, sayang sama aku. Waktu itu lingkungan benar-benar tidak mendukung. Ya kakak, semua keluarga, lingkungan sekolah. Itu nggak ada yang mendukung. Jadi bisa dibilang aku stres, stres berat. Jadi aku meninggalkan Manado dan pergi ke Jakarta.”
Setelah di Jakarta dan melahirkan anaknya Agata, Indi bertemu dengan mantan pacarnya. Mereka tidak pernah bertemu lagi semenjak SMP. Mereka kemudian menjadi akrab, sampai berpacaran.
“Pada saat saya berpacaran sama dia, ya saya sangat senang. Saya pikir saya ini dapat suatu titik terang supaya saya jadi manusia yang lebih baik lagi. Apalagi juga karena orangnya juga baik dan mau nerima Agata, mau nerima aku apa adanya. Aku merasa senang gitu.”
Namun ternyata, orangtua sang pacar tidak menyetujuinya, apalagi ketika mengetahui Indi sudah mempunyai anak. “Setelah saya tahu bahwa orangtuanya tidak setuju karena derajat saya, jadi saya melakukan segala upaya untuk menaikkan derajat saya. Saya akhirnya ambil keputusan untuk kuliah.”
Selain itu, mereka juga merencanakan pernikahan. Sayangnya karena sama-sama masih kuliah, mereka kekurangan uang. “Dia sampai stres sendiri, dan akhirnya saya yang berusaha cari uang untuk kita bisa menikah.”
“Saya pikir, menikah dengan kamu adalah satu-satunya cara untuk mengubah hidup saya jadi lebih baik. Jadi akhirnya saya lakukan apapun buat kamu untuk saya bisa menikah dengan kamu.”
Demi mewujudkan impiannya, Indi pun menjual dirinya. “Waktu saya melakukan hal itu, saya benar-benar hancur. Justru di seluruh kehidupan saya dari saya kecil sampai saat itu. Ini bukan pernikahan yang saya mau. Justru saya mau menikah itu untuk jadi bener, bukan begini.
Saat itu adalah kehancuran saya yang bener-bener hancur. Mata saya langsung terbuka. Kenapa jadi begini Tuhan? Apa saya ga layak dapat kebahagiaan yang bener-bener gitu. Berarti ini bukan kasih sayang yang saya cari dong. Saya mau menikah (karena) mau hidup bener. Tapi mengapa saya malah hancur kacau seperti ini?”
“Walaupun aku hancur sehancur-hancurnya, aku anggap ini akhir dari penderitaanku.” sambungnya.
Setelah menikah, Indi menemukan bahwa gelagat suaminya aneh, termasuk juga tagihan-tagihan yang datang. “Masa dia nonton sendiri tapi tagihan (kartu kredit)nya dua orang? Nggak mungkin kan? Dari situ saya juga lihat tagihan-tagihan restoran di kartu kredit. Saya juga lihat tagihan telepon. Dari situ banyak, ada 3 nomor yang banyak (sering dihubungi, red). Saya pura-pura salah sambung. Saya telepon tiga-tiganya, yang terakhir itu cewek.”
Indira akhirnya meminta bantuan sepupunya untuk mengikuti sang suami. “Saya berhenti di depan mobil dia persis, saya pergokin. Ternyata dia sedang megang dada cewek itu.”
“Saya cuma bisa menjerit di batin, dan jedotin kepala saya.”
“Ya, kalau mami jedotin kepala aku juga sedih gitu, sakit banget. Aduh kenapa sih mami aku jedotin kepala? Apa yang mami rasain, aku juga ikut ngerasain gitu loh. Saat mami sedih, aku juga ikut sedih. Ga tau ya, apa yang mami rasain, aku juga rasain. Kalau mami disakitin, aku juga disakitin.” ujar Agata, anaknya.
Saat sedang mempersiapkan kepindahannya, Indi menemukan Alkitab yang di dalamnya terdapat formulir. “Ada sebuah formulir dari gereja, di situ ada harinya. Hari Senin sampai Minggu. Saya nggak tahu nih, karena terlambat. Akhirnya saya centang tuh semua.”
Ternyata formulir itu menyatakan komitmen jemaat untuk berpuasa dan untuk terus berkomunikasi pada Tuhan di hari yang sudah dicentang. “Waktu saya ngisi itu, dalam hati sempat terpikir gini, ‘Ya, gue udah isi semua hari lagi, gitu kan. Empat puluh hari lumayan nih. Gimana ya?’ Tapi ga tahu kenapa di dalam hati tuh lakukan saja. Apa salahnya saya coba untuk berpuasa setiap hari itu. Toh dari jam 10 malam sampai jam 2 siang aja dan lima menit sediakan waktu untuk berdoa. Ada pokok-pokok doanya di situ. Jadi saya coba lakukan itu.”
“Firman Tuhan itu jelas juga mengatakan. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akalmu, dengan segenap kekuatanmu. Aku langsung terbuka pikiranku. Oh iya ya, berarti kesalahan saya adalah kenapa saya harus cari ke manusia, sedangkan yang sebenernya saya tahu dari lahir, tapi saya nggak pernah mau tahu gimana sih sebenernya Yesus itu, gimana sebenernya Pencipta saya ini. Malah saya mencari dari manusia.”
“Manusia yang saya harapkan kasih sayangnya, sehingga saya berani melakukan apa saja sampai saya sendiri hancur, ternyata saya hanya menerima kekecewaan dari semua itu. Akhirnya saya mengambil komitmen, untuk menyerahkan seluruh kehidupan saya, untuk Tuhan aja yang berdaulat.”
“Saya akui saya banyak membuat keputusan yang salah di masa lalu saya, karena saya belum mengenal Yesus itu sendiri dan belum mengenal kebenaran itu. Terutama keputusan saya untuk bercerai. Tapi saat ini, saya sudah serahkan masa depan saya ke dalam tangan Tuhan karena saya yakin, ketika saya berserah penuh pada Yesus, Yesus memberikan saya pengharapan yang indah.”
“Harmonis yang saya dambakan, sekarang bisa saya ciptakan untuk anak-anak saya. Karena sosok pribadi Yesus ini. Secara manusia, saya nggak mungkin bisa mengampuni tapi karena kasih Yesus yang mengangkat semuanya, dan saya mau belajar mengenal Yesus sehingga saya juga belajar menerima orang walaupun mereka sudah nyakitin saya.”
Agata pun merasa ibunya sebagai wanita yang tegar, meskipun tidak ada siapa-siapa yang mendampinginya. Bahkan ketika orang lain menjelekkan ibunya, ibunya tetap berusaha membesarkan Agata dan adiknya sendirian.
“Ternyata Tuhan ijinkan semua terjadi untuk menyatakan kebesaran Tuhan. Kalau Yesus yang penuh kasih adalah sosok pribadi yang mau terima saya, mau mengampuni saya, dan mau mengubah hidup saya. Separah apapun kehidupan saya, saya tetap berharga di mata Yesus".
sumber : jawaban.com
0 comments:
Post a Comment